Kemandirian jadi semacam dementor bagi para perempuan, apalagi kalau sampai perempuan minta cerai.
“Hanya perempuan terkutuklah yang memilih bercerai karena merasa lebih pintar dan lebih mandiri daripada suami.”
Kalimat semacam itu mampir ke telinga saya ketika mengikuti sebuah pengajian. Mungkin, itu jugalah sebab belakangan saya jarang lagi ikut acara sejenis: saya tidak mau dikutuk. Cukuplah Malin Kundang saja yang dikutuk ibunya karena perkara yang menurut saya tidak begitu krusial. Lagi pula, saya sedang berusaha menjauhkan stigma institusi pernikahan sebagai legitimasi kekuasaan dan objektivikasi laki-laki terhadap perempuan dari kepala saya.
“Hanya perempuan terkutuklah yang memilih bercerai karena merasa lebih pintar dan lebih mandiri daripada suami.”
Saya tidak yakin, ketika melontarkan kalimat itu, sang pengkhotbah tahu bahwa salah satu atau salah dua jemaahnya adalah perempuan yang bercerai. Saya juga tidak yakin bahwa sang pengkhotbah tahu bahwa salah satu alasan perempuan minta cerai adalah pemikiran semacam: “Jika saya akhirnya memutuskan dan melakukan segala hal sendiri, untuk apa saya harus diikat oleh pernikahan?”
Tapi perempuan itu mungkin juga lupa, dalam tataran sosial budaya masyarakat yang begitu mengagung-agungkan moral, perceraian menjadi semacam aib. Aib besar, bahkan, apalagi kalau kasusnya adalah perempuan minta cerai. Ditambah lagi, jika alasannya memberi kesan egois. Tapi sayangnya, kutukan-kutukan itu tidak akan berlaku sama dan dilontarkan oleh pengkhotbah jika yang memilih dan menggugat cerai adalah pihak suami (laki-laki).
“Terkutuklah laki-laki yang menceraikan istrinya hanya karena istrinya bisa cari uang sendiri, bisa urus anak, ditambah bisa ngurus mertua!” Percaya saja, kalimat itu tidak akan pernah muncul. Ujungnya, bisa jadi suami semacam mendapat visa sosial dan diberi keleluasaan untuk memilih perempuan lain sebagai istri muda. Lalu, banyak orang akan ambil suara, “Wow keren!!” untuk sang suami. Sementara itu, sang istri hadir sebagai sosok antagonis yang kemudian digunjing secara berjemaah, “Ya wajar saja suaminya minta cerai, istrinya nggak bisa ngurusin suami!”
Saat perempuan A memilih untuk melanjutkan pendidikan ke tingkatan yang lebih tinggi (dari suaminya), masyarakat akan mencibir dengan semana-mena, “Kok dia nggak menghargai suaminya banget, ya?”
Hadeeeeh, logika macam apa itu, sih, hingga penghargaan terhadap suami ditentukan oleh derajat pendidikan istri??? Apakah perempuan yang tingkat pendidikannya lebih rendah ketimbang suami sudah pasti lebih tahu cara menghargai suami??? Kalau iya, bisa dong jika ada yang menarik simpulan sederhana bahwa kebodohan adalah bentuk penghargaan terhadap laki-laki (suami)???
Tapi, Mbak, perempuan kan kalau sudah pintar suka nyeleneh. Suka ngangkangi suami!
Yaaa, tentu tidak menutup kemungkinan juga hal itu terjadi. Tapi, ketika sampai pada titik ini, mengapa masih perempuan saja yang selalu disalahkan? Lalu, laki-lakinya ke mana? Ngumpet di kamar mandi???
Saat perempuan B ngotot ingin melanjutkan pendidikan dengan konsekuensi membawa semua anak-anak mereka (entah dua, tiga, atau empat) ke kota yang berbeda dengan suami, desas-desus akan muncul. “Kok dia tega ninggalin suami sendirian? Kok anak-anaknya dibawa semua? Kasihan, kan, kalau suaminya kangen sama anak-anaknya?”
Duh. Helllaaaw, apakah ada yang ingat bahwa dia pergi untuk bersekolah (yang ujung-ujungnya bermanfaat secara ekonomi dan sosial bagi rumah tangga mereka) sekaligus mengasuh anak-anaknya? Perempuan itu mungkin saja tidak mempersoalkan betapa sibuk dan kacau-balau dunianya. Justru, yang ada dalam pikirannya, betapa repotnya sang suami jika anak-anak musti ditinggal. Tapi, nggak ngaruh tho semua pertimbangan itu? Tetap, yang dilakukan perempuan itu dianggap tidak sesuai dengan norma!
Lantas, ketika suami ketahuan berselingkuh dengan perempuan lain, tuduhan akan panjang seperti kereta api, semacam: “Iya, kasihan suaminya kesepian ditinggal anak dan istri. Pantas saja dia jadi selingkuh.”
Duh Gusti! Kok bisa-bisanya seseorang punya argumen yang korslet begitu? Kira-kira, jika istrinya yang selingkuh, bakal keluar komentar, “Mungkin dia lelah mengurusi anak dan tugas kuliah. Suaminya juga jarang berkunjung. Barangkali itu sekadar teman untuk berdiskusi dan bercerita,” gitu nggak?
O, ya jelas tidak! Buang jauh-jauh pemakluman semacam itu. Perempuan bukan berada dalam posisi yang bisa mengeluh, bisa mencari sandaran lain ketika sandaran kursi di rumah patah. Alih-alih, yang muncul adalah anggapan perempuan tersebut ganjen. Pantas suaminya ditinggal. Alasannya mau sekolah, padahal…
Perempuan masih saja berada dalam posisi yang mengenaskan ketika berurusan dengan institusi pernikahan. Jangankan perkara poligami, yang memiliki kecenderungan menempatkan perempuan sebagai bahan objektivikasi laki-laki saja masih banyak, kok. Lah wong urusan monogami saja sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Sistem sosial budaya kita nyatanya sangat tidak berpihak pada perempuan.
Perempuan tidak pernah memiliki peran tunggal, terutama ketika sudah menikah. Ia harus bisa menjadi istri, menjadi ibu, sekaligus menjadi pekerja dalam satu waktu yang hanya berdurasi 24 jam sehari. Karenanya, perempuan harus bekerja cerdas dan berpikir keras. Perempuan dituntut untuk mandiri: ganti tabung gas, angkat galon, nyetir dan antar anak sekolah, menemani anak belajar, termasuk menangis sendiri ketika merasa lelah dengan semua tuntutan.
Tapi di satu sisi, kemandirian jadi semacam dementor bagi para perempuan. Dementor-dementor tersebut akan menelan mereka dari ‘kepatuhan’ mereka terhadap kehadiran sosok laki-laki (suami). Dan lagi-lagi, semata-mata itu dianggap sebagai kesalahan perempuan—bukan salah laki-laki, bukan salah sistem sosial dan budaya, terutama bukan kesalahan Tuhan. Mirisnya, kondisi ini justru dilanggengkan dan diagungkan oleh perempuan itu sendiri, disadari atau tidak. Salah satunya, ketika berghibah dengan sesama.
Pernikahan itu menyangkut kesepahaman, Saudara-saudara. Pun, termasuk kesepahaman bagaimana sebuah rumah tangga musti berjalan. Ia bukan hanya perkara siapa yang pendidikannya lebih tinggi, siapa yang penghasilannya lebih besar, siapa yang musti jaga anak ketika yang satu bekerja, siapa yang harus masak, nyuci, atau beres-beres rumah ketika yang satu istirahat. Jadi, kalimat semacam “Kamu tidak becus menjadi suami!” memiliki peluang yang sama besar dengan “Kamu tidak becus menjadi istri!”
Ngenesnya, itu semacam mantra terlarang, semacam kesadaran semua penyihir di dunia Harry Potter tentang bahaya ketika mengucapkan nama Voldemort dan menggantinya dengan istilah ‘Kau-Tahu-Siapa’. Tabu
Komentar